Oktober 27, 2010

Masalah Perempuan

(Diterjemahkan dari kitab Ar-Ru'yah Asy-Syamilah lil Ikhwanil Muslimin, bab
Al-Ikhwan dan Masalah Perempuan)

Pendapat Syaikh Qardhawy dalam masalah wanita tidak berbeda jauh dengan sikap
resmi Jama'ah Ikhwan terhadap wanita, yang sikap tersebut telah ditulis dan
dipublikasikan oleh jama'ah IKHWAN dalam kitab Ar-Ru'yah Asy-Syamilah/ Visi
Komprehensif, dan bukan sekedar cuplikan dari pendapat si fulan dan si fulin.

Dan sikap Syaikh Al-Qaradhawy tersebut bukan tanpa didukung dalil yang kuat dan
memadai, sama sekali jauh dari tuduhan sebuah media yang "katanya" Islami yang
menuduh sikap tersebut sebagai kontroversial dan menuduh yang mengikutinya
sebagai "Melegitimasi Syahwat Kekuasaan", padahal media tersebut paling tinggi
penulisnya baru Lc, masih jauh panggang dari api bila disandingkan dengan tokoh
sekaliber Syaikh Al-Qaradhawy.
Untuk itu maka disini saya tuliskan secara lengkap dan bersambung (bukan
mencuplik sana dan mencuplik sini, sesuai syahwat insilakh mereka), yaitu 1 bab
dari Sikap Resmi AL-IKHWAN dalam masalah Perempuan, sebagai berikut:

Masalah perempuan

Islam memandang bahwa di dalam diri laki-laki dan perempuan terdapat esensi
insani, kesatuan ciptaan, kesamaan kehormatan, kemanusiaan, dan tanggungjawab.
Karena perempuan adalah belahan dari laki-laki, dan prinsip yang berlaku di
dalam hukum-hukum syari'at adalah kesamaan antara keduanya, kecuali dalam
hal-hal yang dikecualikan oleh Syari', dan itu sedikit jumlahnya. Perbedaan
antara laki-laki dan perempuan hanyalah perbedaan tugas. Merawat keluarga
menjadi tugas pokok terpenting bagi wanita.
Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan kedudukan wanita di dalamnya. Bila
ada kelebihan waktu dan tenaga, maka masyarakat punya hak atas wanita, dan
wanita punya kewajiban untuk berpartisipasi bersama laki-laki. Ini adalah
kewajiban yang terbatas ruangnya sesuai perbedaan kondisi wanita, kondisi
masyarakat, dan fase-fase perkembangan masyarakat.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan komplementasi, bukan
hubungan perseteruan. Hak-hak wanita telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala, bukan sesuatu yang dirampas dari laki-laki. Pilar keluarga muslim adalah
cinta, kasih sayang, dan saling menghormati. Ketika sebuah keluarga kehilangan
cinta, kasih sayang, dan sikap saling menghormati, serta sulit terjalin hubungan
dengan cara yang baik di dalamnya, maka cerai dari pihak laki-laki atau khulu'
dari pihak perempuan menjadi rahmat karena ia bisa menghindarikan
pengaruh-pengaruh negatif dari suami istri.
Partisipasi perempuan dengan laki-laki di berbagai lapangan kehidupan merupakan
perkara wajib untuk menjalankan tugas masing-masing dalam kehidupan. Islam tidak
melarang keterlibatan ini, namun Islam mewarnainya dengan etika-etika syar'i,
sebagaimana Islam mewarnai seluruh bidang kegiatan sosial dengan etika-etika
syar'i. Dari sini, masalah-masalah busana, hijab, dan etika partisipasi sosial
merupakan perkara-perkara yang menjaga dan melindungi aktivitas kaum perempuan,
bukan menghalanginya.
Manhaj Jamaah dalam Menangani Masalah Perempuan
Perempuan adalah separo masyarakat, dan ia menjadi pilar tegaknya generasi, baik
laki-laki atau perempuan. Karena itu, surga berada di bawah telapak perempuan
(ibu). Perempuan adalah makhluk yang suci dan mulia. Allah Subhanahu wa Ta`ala
memuliakan perempuan, sebagaimana Dia memuliakan laki-laki.
"Sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam.." (Al-Isra' : 70)
Perempuan adalah makhluk yang berakal, bijak, dan turut diajak bicara oleh Allah
di dalam al-Qur'an dan Sunnah, sama seperti pembicaraan kepada laki-laki. Ia
juga dibebani kewajiban dan tanggungjawab secara penuh. Jadi, tanggungjawab
pidana dan perdata wanita itu sama seperti laki-laki, dan tanggungan hartanya
juga penuh. Seluruh tindakan finansialnya sah dan berlaku, tanpa membutuhkan
persetujuan suami, atau ayah, atau saudara, atau yang lain.
Ruang lingkup kepemimpinan laki-laki atas istrinya terbatas pada masalah-masalah
rumah tangga saja, dan ini adalah kepemimpinan atas dasar cinta, kasih sayang,
dan musyawarah, sebagai kompensasi dari tanggungjawab yang dipikul laki-laki.
Berangkat dari kedudukan yang mulia ini, kami berpandangan: Hak-hak pribadi
Hak-hak personal adalah hak memilih suami tanpa ada tekanan, paksaan, atau
wasiat; hak mahar, pengasuhan, dan susuan; hak tempat tinggal dan nafkah di masa
`iddah; serta hak kepemilikan dan warisan sebagaimana yang ditetapkan oleh
syari`at.
Hak-hak umum Hak-hak umum adalah hak memerintahkan kebajikan, mencegah yang
mungkar, hak mengajar yang merupakan kewajiban setiap mukmin dan mukminah—yaitu
mengembangkan kepribadian, meningkatkan keberanian dalam menghadapi kehidupan,
berinteraksi dengan suami dan anak-anak, serta mampu bekerja untuk meningkatkan
penghasilan keluarga saat dibutuhkan; hak bekerja karena pekerjaan bagi wanita
adalah hak, bukan kewajiban, kecuali ketika wanita harus melakukan suatu
pekerjaan tertentu, sehingga pekerjaan itu menjadi fardhu `ain atau kifayah
baginya.
Di antara hak wanita adalah terlibat dalam pemilihan umum dewan perwakilan
rakyat dan sejenisnya. Juga menjabat sebagai anggota majelis ini dalam ruang
lingkup yang bisa menjaga kesuciannya, netralitasnya, dan kehormatannya tanpa
ada yang harus dikorbankan.
Termasuk hak wanita adalah memangku jabatan-jabatan publik selain imamah kubra
dan yang sama hukumnya; memberantas buta aksara yang banyak dialami kaum wanita,
terutama di pedesaan; menjamin agar kurikulum pendidikan sesuai dengan watak
wanita, peran dan kebutuhannya; menjaganya di setiap tempat, baik di angkutan
umum atau di tempat-tempat kerja; mendirikan dan mendukung organisasi-organisasi
wanita yang bekerja untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan politik
wanita, serta membela hak-hak wanita di dalamnya; membentuk kelompok kerja
wanita dengan didasari pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah wanita
di dunia untuk merepresentasikan sudut pandangan Islam di berbagai konggres
wanita dan kependudukan yang diorganisir oleh PBB.

Diambil dari
Situs Al-Ikhwan

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggunganjawabnya. (QS. 17:36)
Syaikh Utsaimin berkata, "Sesungguhnya pembicaraan tentang
permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmi) adalah sangat berbahaya karena hal
ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu" At-Ta'liq Ats-Tsamin hal 322
((Barangsiapa yang berfatwa tanpa ilmu maka dosanya bagi orang yang memberi
fatwa))
HR Abu Dawud 3/321 no 3657, Ibnu Majah 1/20 no 53 dan dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani

"Orang-orang itu ada empat macam, (1) seorang yang mengetahui dan tidak
mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka ingatkalah ia.
(2) Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui bahwasanya ia tidak tahu,
itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah ia. (3) Dan seorang yang
mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang pandai maka
ikutilah. (4) Dan seorang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak
tahu, itulah orang tolol maka jauhilah ia" Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam
Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828